Sabtu, 24 November 2012

Semua Warga Negara Sama di Depan Hukum

Tema : Pelapisan Sosial dan Kesamaan Derajat


Ketua Mahkamah Konstitusi (MK), Mahfud MD, menegaskan semua warga negara sama kedudukannya di depan hukum. Tidak ada aturan hukum yang menyebutkan bahwa presiden dan wakil presiden adalah warga negara istimewa dan hanya bisa diperiksa jika masa jabatannya sudah habis. Di muka hukum, tidak ada perlakuan khusus terhadap presiden dan wakil presiden (wapres).

"Saya sudah berdiskusi dengan beberapa guru besar di Universitas Gadjah Mada (UGM). Tidak ada UU yang mengatur tentang warga negara istimewa itu," kata Mahfud di Gedung MK, Jakarta, Rabu (21/11).

Pendapat Mahfud itu dilontarkan menanggapi pernyataan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Abraham Samad, yang menyebutkan pihaknya tidak berwenang mengusut Boediono dalam kasus Bank Century karena jabatan yang bersangkutan sebagai wapres tergolong warga negara istimewa. 

Setelah menyelidiki sejak Desember 2009, KPK akhirnya menetapkan dua tersangka dalam kasus penggelontoran dana talangan atau bailout ke Bank Century. Mereka adalah Budi Mulya dan Siti Chalimah Fadjrijah.

Kedua tersangka itu merupakan petinggi di Bank Indonesia saat Bank Century dinyatakan sebagai bank gagal yang berdampak sistemik tahun 2008 silam. Budi saat itu menjabat sebagai Deputi Bidang IV Pengelolaan Moneter Devisa, sementara Siti Chalimah Fadjrijah menjabat Deputi V Bidang Pengawasan. Adapun Boediono saat itu menjabat sebagai Gubernur Bank Indonesia (BI).

Mahfud meminta agar kasus Century tidak dilempar ke MK. Dia menyarankan KPK mengatakan yang sejujurnya bahwa lembaga itu tidak punya bukti hukum dan tidak bisa melanjutkan penanganan kasus Century.

"Tidak benar kalau dikatakan kasus Bank Century itu harus dibawa ke MK dulu. Itu tidak ada hukumnya, jadi tidak usah dikait-kaitkan ke MK. Kalau mau dilempar ke MK, itu harus dilakukan melalui pendakwaan politik di DPR, yakni impeachment," jelas Mahfud.

Dalam Pasal 7A dan 7B UUD 1945, kata Mahfud, pelanggaran yang dilakukan presiden dan wakil presiden yang menyangkut suap, korupsi, dan sebagainya harus dibedakan dalam dua konsep, yakni konsep hukum pidana dan tata negara. 

Dalam konsep hukum pidana, pelanggaran oleh presiden atau wakil presiden berupa suap akan berujung ke hukum pidana yang harus diselidiki, lalu disidik, kemudian diajukan ke pengadilan. "Itu perlu waktu lama, bertahun-tahun. Ujung dari korupsi di hukum pidana itu adalah penjara atau pembebasan dari hukuman," jelas dia.

Di hukum tata negara, suap dan korupsi melahirkan penafsiran konstitusi yang diberi waktu 90 hari dan harus selesai. "Produknya bukan hukuman, namun pernyataan dari MK. MK hanya menyatakan benar atau tidak, tapi yang menghukum atau tidak menghukum itu MPR," jelas dia.

Sebelumnya, pakar hukum tata negara, Yusril Ihza Mahendra, juga menyatakan hal yang sama. Yusril menilai pendapat Ketua KPK yang menyebut Wakil Presiden, Boediono, warga negara istimewa jelas salah. Pasalnya, dalam UUD 1945, tidak ada istilah warga negara istimewa.

"Statement Abraham Samad itu salah. Salah dalam memahami UUD 1945. Dalam UUD 1945 tidak ada istilah warga negara istimewa. Dalam UUD 1945 tegas menyatakan bahwa semua warga negara sama kedudukannya di dalam hukum," kata Yusril.

Sehari setelah bergulir wacana tentang warga negara istimewa itu, Ketua KPK, Abraham Samad, meralat pernyataannya saat rapat dengan Timwas Century di Gedung DPR, Selasa (20/11).

"KPK tidak pernah menyatakan tidak mampu melakukan pengusutan dan pemeriksaan terhadap Wakil Presiden Boediono. Yang saya sampaikan bahwa dalam konteks ketatanegaraan dan konstitusi, DPR bisa saja langsung melakukan penyelidikan dan penyidikan tanpa harus menunggu hasil penetapan tersangka terhadap Wakil Presiden Boediono yang dilakukan oleh KPK," kata Abraham di kantornya, Rabu (21/11). 

Pendapat agak berbeda diungkapkan pakar hukum tata negara yang juga mantan Ketua MK, Jimly Asshiddiqqie. Menurut Jimly, pernyataan Abraham itu tidak terlalu ekstrem. Ucapan Samad itu, kata dia, ada benarnya dan ada salahnya. Benar karena sebagai wapres, Boediono tidak bisa disidik dengan proses biasa. Tetapi, salah kalau disebut KPK tidak bisa menyidik Boediono secara permanen.

"Seharusnya dia bilang KPK tidak bisa memproses selama Boediono menjabat wapres. Kalau tidak lagi menjabat, KPK bisa memproses. Karena hukum kan tidak ada kedaluwarsanya," jelas Jimly.

Bagaimana seharusnya penanganan kasus ini? Jimly mengatakan semua bergantung pada pilihan DPR. Bisa menggunakan mekanisme impeachment di DPR, bisa juga menunggu Boediono selesai masa jabatannya sebagai wapres sehingga bisa diproses KPK. idr/ags/eko/Ant/P-4



SUMBER :

[1] http://koran-jakarta.com/index.php/detail/view01/106218

Tidak ada komentar:

Posting Komentar